Islam Akan Kembali Asing, Tetapi Tidak Juga Sengaja Terlihat Asing dan Mengasingkan Diri
Mungkin ada yang salah paham dengan hadits bahwa Islam kelak akan terlihat kembali asing sebagaimana awalnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing” (HR. Muslim no. 145).
Memang benar di akhirnya nanti akan kembali asing, karena sunnah dan ajaran Islam yang mulai terkikis dan tidak terbiasa di masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dari penjelasan Al-Qadhi Iyadh[1]
Akan tetapi bukan berarti kita sengaja terlihat asing dan megasingkan diri, sehingga kita terlihat menjauh dari masyarakat dan bisa jadi orang yang belum paham sunnah dan syariat malah menjauh dari kita. Bahkan kita diperintahkan disunnahkan agar mencocoki/menyesuaikan dengan adat setempat selama tidak menyelisihi syariat serta berbaur dan bermasyarakat, sebagaimana penjelasan ulama[2]
Contoh penerapannya:
-Ajaran agar tidak Isbal (pakaian di bawah mata kaki), sunnahnya memang setengah betis, akan tetapi jika masyarakat belum menerima (misalnya di kantor), maka bisa diturunkan sedikit potongannya, yang penting tidak dibawah mata kaki. Nanti kalau ikut pengajian baru terapkan sunnah tersebut
-Untuk pakaian gamis (bagi yang memilih ini adalah sunnah), jika masyarakat belum biasa, maka tidak mengapa menggunakan sarung, baju koko dan kopiah hitam ketika ke masjid. Jika masyarakat sudah biasa, maka tidak apa-apa
Maaf, mohon dipertimbangkan jika ke kampus umum (mau kuliah) atau ke kantor memakai pakaian gamis (pakistan) dan celana yang potongannya setengah betis (jika mereka sudah menerima tidak masalah), adapun kami lebih memilih memakai pakaian batik nusantara dan semisalnya
-Demikian juga jika ada acara-acara mubah bermanfaat di kampung atau tempatnya, misalnya kerja bakti, gotong royong atau rapat RT, maka dia yang paling semangat menghadiri jika memang tidak pernah hadir dalam acara yasinan dan tahlilan
-Bagi wanita tidak mesti memakai hijab dan jilbab hitam-hitam terus, bisa memakai warna lainnya asalkan tidak mencolok sekali dan mengundang perhatian. ‘Aisyah pernah memakai pakaian celupan ‘ushfur berwarna merah dan ada sahabat wanita yang memakai berwarna hijau.[3]
-Dan masih banyak contoh lainnya, memang perlu belajar banyak dan ilmu untuk mengetahui hal ini
Bahkan kita perlu berhati-hati agar tidak terjerumus dalam pakaian syuhrah, yaitu terlihat mencolok sekali berbeda dengan orang sekitarnya dan bisa menimbulkan rasa sombong (bisa jadi mungkin sombong karena sudah hebat bisa melaksanakan sunnah)[4]
Demikian semoga bermanfaat
@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] Berikut penjelasannya:
أَنَّ الإِسْلام بَدَأَ فِي آحَاد مِنْ النَّاس وَقِلَّة ، ثُمَّ اِنْتَشَرَ وَظَهَرَ ، ثُمَّ سَيَلْحَقُهُ النَّقْص وَالإِخْلال ، حَتَّى لا يَبْقَى إِلا فِي آحَاد وَقِلَّة أَيْضًا كَمَا بَدَأَ
“Islam dimulai oleh segelintir orang dari sedikitnya manusia. Kemudian Islam menyebar dan menampakkan kebesarannya. Kemudian keadaannya akan kembali surut. Sampai Islam (dan sunnah berada di dalam keterasingan kembali) dan ada pada segelintir orang dari sedikitnya manusia pula sebagaimana awalanya. ” (Syarh Shahih Muslim, 2: 177, syamilah)
[2] Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata,
أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه.
“Mencocoki/menyesuaikan kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang syuhroh (suatu yang tampil beda). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpakaian syuhroh. Jadi sesuatu yang menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan. (Syarhul Mumti’ 6/109, syamilah)
[3] Misalnya hadits berikut:
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا
Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)
[4] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” (HR. Abu Daud, hasan)
Artikel asli: https://muslimafiyah.com/islam-akan-kembali-asing-tetapi-tidak-juga-sengaja-terlihat-asing-dan-mengasingkan-diri.html